Senin, 07 Desember 2020

AHMAD IBN ABDULLAH PEMIMPIN DUNIA TERBAIK SEPANJANG MASA

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ،َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، أَمَّا بَعْدُ؛

 

Sosialisme Islam adalah istilah yang diciptakan oleh berbagai pemimpin Muslim untuk menjelaskan bentuk sosialisme yang lebih spiritual. Sosialis Muslim percaya bahwa ajaran Qur'an dan Nabi ALLAH Muhammad—khususnya zakat—sesuai dengan prinsip kesetaraan ekonomi dan sosial. Mereka mengambil inspirasi dari negara kesejahteraan Madinah awal yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Sosialis Muslim menemukan akarnya dalam anti-imperialisme. Pemimpin sosialis Muslim percaya pada penurunan legitimasi berasal dari publik.
"Piagam Madinah" 
 Fakta keberhasilan politik Islam telah dicontohkan oleh masyarakat Madinah pada masa Rasulullah dan sahabat. Secara politis, muslim dan pemeluk agama lainnya hidup mandiri, berdaya, teratur dan egaliter sebagai warga negara. Untuk mewujudkannya kembali ilmuwan politik Islam seperti Ibnu Aby Rabi, Al-Mawardi dan Al-Ghazali memaparkan pentingnya rasa aman, keadilan, dan supremasi hukum. Mc. Donald menyebut Madinah sebagai negara Islam pertama yang memiliki dasar-dasar politik dan perundang-undangan. Muhammad SAW sebagai kepala negara kala itu telah menetapkan dasar-dasar dan sendi-sendi pemerintahan, dan berhasil menyatukan semua golongan (Ridha, 2003). Resep rahasianya adalah implementasi spiritualisme Islam ke seluruh sendi kehidupan, termasuk politik. Sejarah mencacat, di zaman Rasulullah telah dihasilkan konstitusi yang berkeadilan dan demokratis, yaitu Piagam Madinah. Pakar Barat seperti Julius Wilhausen, Leon Caetani, Hubert Grime, Montgomery Watt dan lainnya mengakuinya sebagai konstitusi pertama di dunia dan paling lengkap sepanjang sejarah manusia. Hidayat (1995, dalam Soelhi, 2003) merangkum temuan penting dari Piagam Madinah. Pertama, piagam ini mampu menghapus tribalisme (kesukuan) menuju pembangunan negara baru. Kedua, Piagam Madinah dinamis seiring dengan kondisi kebutuhan kekinian dan mengakomodasi seluruh elemen agama. Ketiga, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban serta wajib melindungi yang lemah. Dalam kebijakan ekonomi misalnya, bagi Muslim wajib membayar zakat, sedangkan non-muslim berupa jizyah dan kharaj. Negara mengakui, melindungi dan menjamin kebebasan warga menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Keempat, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dalam prinsip kebenaran dan keadilan. Kelima, hukum adat/tradisi dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap dilakukan. Keenam, negara menganut asas pacta sun servanda (perjanjian harus dihormati) selama perjanjian ini berlaku. Ketujuh, semua warga negara mempunyai kewajiban yang sama terhadap Negara. Kedelapan, perdamaian adalah tujuan utama, tapi pencapaiannya tidak boleh mengorbankan kebenaran dan keadilan. Kesembilan, sistem pemerintahan adalah desentralisasi. Namun, pemerintah pusat adalah pemutus terakhir jika daerah buntu. Piagam Madinah mengajarkan pelaksanaan politik pemerintahan yang tidak kaku. Efek positifnya terasa dengan dijunjungnya etika, moralitas, ikatan kepercayaan, dan rasa kasih sayang. Piagam Madinah juga mampu melindungi dan mengatur perikehidupan bernegara yang multi-etnis dan berbeda-beda agama. Hal ini menjadi bukti telah terjalankannya iklim demokrastis dan keadilan 'Sejarah' Abu Dzar Al-Ghifari, Sahabat Nabi Muhammad, diakui oleh sebagian ulama, seperti Muhammad Sharqawi dan Sami Ayad Hanna, sebagai penggagas awal sosialisme Islam.Dia tidak setuju dengan akumulasi kekayaan oleh kelas penguasa selama masa kekhalifahan Utsman bin Affan dan menuntut adanya redistribusi kekayaan secara merata. Khalifah pertama Abu Bakar mengenalkan penjaminan standar minimum pendapatan, memberikan setiap laki-laki, wanita dan anak-anak sepuluh dirham setiap tahun; yang kemudian ditambah menjadi dua puluh dirham. Eksperimen komune Islam pertama didirikan selama Revolusi Rusia 1917 sebagai bagian dari Gerakan Wäisi, sekelompok pendukung awal pemerintahan Soviet. Komite Sosialis Muslim Kazan juga aktif pada masa ini. Pada era modern, sosialisme Islam dapat dibagi menjadi dua bentuk, sayap kiri dan sayap kanan. Sayap kiri (Siad Barre, Haji Misbach, Ali Syariati, Yasser Arafat dan Jalal Al-e Ahmad) mendukung internasionalisme proletarian sekuler dan mendorong Muslim untuk bergabung atau berkolaborasi dengan sosialis internasional atau gerakan Marxis. Sosialis sayap kanan (Muhammad Iqbal, Agus Salim, Jamal-al-Din Afghani, Musa al-Sadr, dan Mahmud Shaltut) secara ideologi lebih dekat ke posisi ketiga, tidak hanya mendukung keadilan sosial, masyarakat egalitarian dan persamaan universal, tapi juga revivalisme Islam dan implementasi Syariah. Mereka juga menolak penggunaan perjuangan kelas dan tetap menjaga jarak dengan gerakan sosialis lainnya. Aktivitas revolusioner di sepanjang perbatasan selatan Uni Soviet, disadari oleh pembuat kebijakan Uni Soviet akan menarik perhatian kekuatan kapitalis dan mengundang mereka untuk mengintervensi. Pemahaman ini yang mendesak perwakilan Rusia di Kongres Baku pada September 1920 untuk menolak argumen dari komunis nasional sebagai tidak praktis dan kontra-produktif terhadap revolusi secara umum, tanpa memikirkan ketakutan mereka atas keamanan Rusia berada dalam keseimbangan tersebut. Pemahaman ini, ditambah dengan ketidaksenangan Bolsheviks Rusia atas pengajuan pusat revolusi lain dalam domain revolusionernya, telah membangkitkan aksinya melawan komunis nasional. Muhammed Nakhshab diakui sebagai penyintesis pertama antara Syi'ah dan sosialisme Eropa. Pergerakan Nakhshab didasarkan atas ajaran bahwa Islam dan sosialisme tidak bertentangan, karena keduanya berusaha untuk mencapai kesetaraan dan keadilan sosial. Teorinya telah diungkapkan dalam tesis sarjana hukum etika. Pada 1943, Nakhshab mendirikan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan (Movement of God-Worshipping Socialists), satu dari enam organisasi anggota awal Front Nasional. Organisasi ini didirikan melalui penggabungan dua kelompok, lingkaran Nakhshab di siswa sekolah menengah di Dar al-Fanoun dan lingkaran Jalaeddin Ashtiyani yang berkisar 25 siswa Fakultas Teknik Universitas Teheran. Organisasi ini semula dikenal sebagai Liga Muslim Patriotik. Mereka mengkombinasikan sentimen religius, nasionalisme dan pemikiran sosialis.

Minggu, 06 Desember 2020

CONTOH PROPOSAL

 BAB I

PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah sebuah negara hukum (rechstaat), dimana setiap ketentuan yang berlaku selalu berpedoman kepada suatu sistem hukum yang berlaku secara nasional. Namun di samping berlakunya hukum nasional di tengah masyarakat juga tumbuh dan berkembang suatu sistem hukum, yang bersumber dari kebiasaan yang ada di masyarakat tersebut. Kebiasaan inilah yang nantinya berkembang menjadi suatu ketentuan yang disebut dengan hukum adat.

Pengertian Hukum Adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yaitu orang-orang yang mempunyai wibawa (macth, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh para pengikut suatu kebudayaan tertentu dalam masyarakat.  Hukum pidana adat mengatur tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi reaksi adat. Salah satu konsep pokok bentuk pengakuan hukum yang hidup di masyarakat adalah dengan diadopsinya  sistem  sanksi  pidana  adat.

Terkait dengan masyarakat Hukum Adat, UUD 1945 juga memberikan jaminan konstitusional terhadap kebudayaan Indonesia, termuat dalam Pasal 32 yaitu: Ayat (1): “Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai”. Selanjutnya , ayat (2): “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.

Hukum dan Sanksi Adat di Tanah Kaili berlaku sebelum adanya agama masuk di Kota Palu dan juga adanya penjajahan bangsa asing. Hal ini merupakan bagian dari proses kebudayaan masyarakat Kaili, yang memegang teguh adat istiadatnya.

Hukum dan Sanksi Adat aplikasinya berorientasi pada ketetapan Givu (denda) bagi masyarakat Kaili yang berdomisili di Kota Palu. Bila ditelusuri dari aspek budaya dan kearifan lokal, ternyata Hukum dan Sanksi Adat memiliki nilai-nila luhur dan tetap dijunjung tinggi serta ditaati. Namun di era modern sekarang ini sebagian besar orang sudah melupakannya dan bahkan dianggap sebagai pamali (pantangan) dalam kesehariannya. Akan tetapi Hukum dan Sanksi Adat dipedomani untuk menjaga pengaruh negatif modernisasi dalam merusak tatanan kehidupan.

Untuk menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan sesama manusia, manusia dengan alam, dan lingkungannya, maka setiap orang di dalam kelompok masyarakat Kaili selalu mengembangkan berbagai macam tata nilai dan etika, baik dalam bentuk pergaulan, perilaku, tutur kata, dan tindakan, senantiasa selalu dalam kesepakatan adat.

Pada masyarakat adat kaili yang ada dibeberapa daerah di Sulawesi Tengah masih menggunakan peradilan adat Givu sebagai wadah untuk mengatur interaksi dan hubungan antara sesama anggota masyarakat. Disamping  berlakunya KUHP sebagai payung hukum pidana, juga terlihat pada aspek-aspek tertentu dalam  kehidupan bermasyarakat, penerapan hukum adat yang bersifat pidana dalam bentuk pemberian sanksi berupa sanksi Givu (denda). Masyarakat mengakui sanksi tersebut memiliki kekuatan berlaku yang sama dengan hukum pidana dalam KUHP, namun tetap bersifat dinamis sehingga aspek kemanusiaan sesuai dengan perasaan keadilan di dalam lingkup masyarakat  adat  itu sendiri. Sanksi tersebut merupakan kesepakatan yang telah ditetapkan oleh pemuka-pemuka adat sebelumnya.

Hubungan hukum yang bekaitan dengan kesusilaan dibeberapa daerah di Tanah Kaili, (Sulawesi Tengah) sampai saat ini memilih tetap memberlakukan peraturan adat sanksi Givu (denda) untuk menjaga harmonisasi dalam pergaualan masyarakat  adat.  Seperti  pada  suku kaili berdialek ledo, rai, dan tara yang bermukim di Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore Palu.

Sanksi adat Givu (denda) merupakan suatu kewajiban bagi seseorang yang melanggar peraturan adat agar kejadian serupa tidak diulangi lagi oleh masyarakat dan denda tersebut merupakan efek jera bagi mereka yang melanggar adat.

Berdasarkan latar belakang, penulis tertarik untuk meneliti tentang “Dampak Sanksi Givu (Denda) pada Masyarakat Kaili di Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore”.


  1. RUMUSAN MASALAH 

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah  yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimana dampak sanksi givu terhadap kehidupan masyarakat adat kaili di Kelurahan Talise ?

  2. Bagaimana bentuk upaya pelestarian sanksi givu di Kelurahan Talise ?


  1. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

  1. Mengetahui dampak sanksi givu di Kelurahan Talise.

  2. Mengetahui bentuk upaya pelestarian sanksi givu di Kelurahan Talise.


  1. MANFAAT PENELITIAN

  1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menanmbah wawasan tentang sanksi givu dalam mengatur ketertiban sosial.

  2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemahaman bagi masyarakat Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore.

  3. Bagi Pembaca, dapat digunakan sebagai referensi pengetahuan, karya tulisan ilmiah dan perbandingan dari hasil penelitian yang sejenis dengan penelitian ini.


.......................................................................................................................................................................

  BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN


  1. Penelitian Relevan

Penelitian relevan dapat dilihat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan peneliti-peneliti terdahulu seperti:

  1. Sulfriani Galagido (2016), “ Peran Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Kasus Adat dengan Pendekatan Musyawarah Mufakat di Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara”.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah memudarnya kecintaan terhadap adat di desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara dalam kehidupan generasi sekarang. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang peran lembaga adat dalam menyelesaikan kasus adat dengan pendekatan musyawarah mufakat di desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data yaitu penelitian pustaka, observasi, dan dokumentasi. Lokasi penelitian yaitu desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 7 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan januari 2016. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian kasus adat memiliki beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut merupakan suatu aturan dalam prose penyelesaian kasus adat agar prosesnya berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh lembaga adat. Dalam menyelesaikan kasus adat yaitu melakukan mediasi musyawarah atau konsultasi dalam proses penyelesaian kasus adat agar mufakat yang diharapkan dapat tercapai.

  1. Ni Made Sherly Feronica (2018), “ Peranan Lembaga Adat dalam Menangani Kasus Hamil di Luar Nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara”.

Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kehamilan di luar nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara dan untuk mengidentifkasi upaya-upaya lembaga adat dalam menangani kasus hamil di luar nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Adapun subjek dalam penelitian ini berjumlah 11 orang informan. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan hamil di luar nikah dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu, pergaulan yang kurang baik, kurangnya perhatian dari orang tua, pengaruh teknologi dan informasi, dan kurangnya kesadaran dan pengalaman agama. Adapun upaya yang dilakukan lembaga adat dalam menangani kasus hamil di luar nikah dengan memberikan sanksi atau denda bagi si pelaku dengan ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga adat Desa Watumaeta. Walaupun hal tersebut masih tidak sesuai dengan peraturan atau ketetapan yang telah disepakati oleh Lembaga Adat Tampo Pekurehua Tawaella karena lembaga adat Desa Watumaeta menyesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini, akan tetapi sanksi dan denda tetap di berlakukan sebagai efek jerah agar kejadian serupa tidak terjadi lagi dan juga bertujuan untuk dijadikan pembelajaran terhadap remaja dan masyarakat setempat.

Tabel 2.1

No

Nama Peneliti

Sulfriani Galagido

(2016)

Ni Made Sherly Feronica

(2018)

Mohammad Nur Hammam (2019)

1

Judul 

Peran Lembaga Adat dalam Penyelesaian Kasus Adat dengan Pendekatan Musyawarah Mufakat di Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali Utara

Peranan Lembaga Adat dalam Menangani Kasus Hamil di Luar Nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara

Dampak Sanksi Givu (Denda) pada Masyarakat Kaili di Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore

2

Rumusan Masalah

Bagaimana Peran Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Kasus Adat dengan Pendekatan Musyawarah Mufakat di Desa Lee

Faktor-faktor apa yang menyebabkan kehamilan di luar nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara dan

Bagaimana upaya lembaga adat dalam menangani kasus hamil di luar nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara

Bagaimana dampak sanksi givu terhadap dalam kehidupan masyarakat adat kaili di Talise, dan Bagaimana kedudukan sanksi givu bagi masyarakat adat kaili di Talise 

3

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Peran Lembaga Adat dalam Penyelesaian Kasus Adat dengan Pendekatan Musyawarah Mufakat di Desa Lee

Mengidentifikasi Faktor-faktor apa yang menyebabkan kehamilan di luar nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara dan

Mengidentifikasi upaya lembaga adat dalam menangani kasus hamil di luar nikah di Desa Watumaeta Kecamatan Lore Utara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak serta kedudukan sanksi givu dalam penyelesaian masalah sosial masyarakat  di Kelurahan Talise.

4

Persamaan Penelitian

Peranan Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Kasus Adat

Peranan Lembaga Adat dalam Menangani Kasus di luar nikah

Dampak Sanksi Givu (denda)

5

Jenis Penelitian

Kualitatif

Kualitatif

Kualitatif 

6

Teknik Pengumpulan Data

  1. Penelitan pustaka

  2. Observasi

  3. Wawancara

  4. Dokumentasi

  1. Wawancara

  2. Dokumentasi 


  1. Observasi

  2. Wawancara

  3. Dokumentasi

7

Teknik Analisis Data

  1. Reduksi data

  2. Penyajian data

  3. Verifikasi data

  1. Reduksi data

  2. Penyajian data

  3. Verifikasi data

  1. Reduksi data

  2. Penyajian data

  3. Verifikasi data


  1. Kajian Pustaka

  1. Dampak

Dampak menurut JE. Hosio (2007:57) adalah sebuah perubahan yang nyata terjadi pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh keluaran kebijakan. Berdasarkan pengertian tersebut maka dampak merupakan suatu perubahan yang nyata akibat dari keluarnya kebijakan terhadap sikap dan tingkah laku, suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat dari suatu aktivitas atau tindakan yang dilaksanakan sebelumnya yang merupakan konsekuensi dari dilaksanakannya suatu kebijakan sehingga akan membawa perubahan baik positif maupun negatif.

Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah benturan pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Pengaruh adalah suatu keadaan dimana ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi. (KBBI Online,2010)

Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dalam setiap keputusan yang diambil oleh seseorang atasan biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak bisa juga merupakan proses lanjutan dari sebuah pelaksanaan pengawasan internal. Seorang pemimpin yang handal sudah selayaknya bisa memprediksi jenis dampak atas sebuah keputusan yang akan diambil.

Dari penjabaran diatas maka dampak dapat terbagi dalam dua pengertian yaitu;



  1. Pengertian Dampak Positif

Dampak adalah keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya. Sedangkan positif adalah pasti atau tegas dan nyata dari suatu pikiran terutama memperhatikan hal-hal yang baik. Positif adalah suasana jiwa yang mengutamakan kegiatan kreatif dari pada kegiatan menjenuhkan, kegembiraan dari pada kesedihan, optimisme dari pada pesimisme.

  1. Pengertian Dampak Negatif

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dampak negatif adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif. Dampak adalah keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya. Berdasarkan penelitian ilmiah disimpulkan bahwa negatif adalah pengaruh buruk yang lebih besar dibandingkan dengan positifnya. Jadi dapat disimpulkan  pengertian dampak negatif adalah keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya yang buruk dan menimbulkan akibat tertentu.




  1. Sanksi Adat Givu

Sanksi berasal dari bahasa Belanda yaitu Sanctie yang artinya ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang misalnya sanksi terhadap pelanggaran suatu undang-undang (J.C.T Simongkir, Rudy T. Erwin dan Aj.T.Prasetyo, 2000 : 152 ). Sanksi adalah tindakan-tindakan (hukuman) untuk memaksa seseorang menaati aturan atau menaati ketentuan undang-undang (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997 : 878).

Sanksi adalah alat pemaksa, dimana sanksi memaksa menegakkan hukum atau memaksa mengindahkan norma-norma hukum. Sanksi sebagai alat penegak hukum bisa juga terdiri atas kebatalan perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum. Baik batal demi hukum maupun batal setelah ini dinyatakan oleh hakim (R.Subekti dan Tjitrosoedibyo, 2005 : 98).

Sanksi adat merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan keseimbangan magis. Dengan kata lain sanksi adat tersebut merupakan usaha untuk menetralisir kegoncangan yang terjadi sebagai akibat perlanggaran adat. Jadi sanksi adat berfungsi sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Dan wujudnya dari sanksi adat bermacam-macam tergantung pada nilai-nilai dan perasaan keadilan masyarakat bersangkutan.

Menurut Balitbangda Sulawesi Tengah Sanksi Givu Adat (2012:16) adalah sesuatu yang diterima akibat dari pelanggaran nilai dan norma adat yang berlaku dimasyarakat. Sanksi adat diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar adat termasuk dari golongan Madika (bangsawan/Raja), Ntina (Tokoh dan Pemangku Adat) sampai Todea (masyarakat umum). Demi menjunjung penegakan nilai dan norma adat, seluruh warga masyarakat yang berada dalam 5 (lima) wilayah keadatan memperoleh hukum atau sanksi yang sama walaupun suku, pangkat, dan golongan berbeda, dengan menggunakan falsafah; Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung makna strategisnya kata berpijak dan menjunjung adalah menaati dan menghormati Hukum dan Sanksi Adat yang berlaku pada suatu wilayah.

Adapun jenis-jenis pelanggaran dalam sanksi givu yaitu:

  1. Sala Kana/Nakaputu Tambolo. 

Sala kana adalah salah satu jenis hukum yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar norma-norma Adat yang berhubungan dengan ucapan, tindakan dan perilaku dalam kategori berat. Hukumannya antara lain : 1) Nilabu ditenggelamkan dilaut, 2)Nipali diasingkan atau diusir dari kampung, 3)Nibeko dikucilkan dari kehidupan sosial dan 4)Bangu mate mengganti/membayar denda berupa hewan besar dan perlengkapan adat lainnya sesuai ketentuan.

  1. Sala Baba/Sala Mpale.

Sala baba adalah salah satu jenis hukum yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar norma-norma Adat yang berhubungan dengan ucapan, tindakan dan perilaku dalam kategori sedang. Hukumannya adalah Bangu mate atau mengganti/membayar denda berupa hewan kecil (kambing) minimal 2 ekor dan perlengkapan adat lainnya sesuai ketentuan. 

  1. Sala Mbivi

Sala mbivi adalah salah satu jenis hukum yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar norma-norma Adat yang berhubungan dengan ucapan, tindakan dan perilaku dalam kategori ringan. Hukumannya adalah Bangu mate atau mengganti/membayar denda berupa hewan kecil (kambing) minimal 1 ekor dan perlengkapan adat lainnya sesuai ketentuan.

Sanksi adat (Givu/denda) disamping berlaku sebagai aturan adat juga dapat berlaku sebagai kontrol sosial di dalam masyarakat karena memiliki beberapa fungsi sosial seperti : 

  1. Preventif yaitu kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi “mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan norma dan nilai. 

  2. Represif yaitu kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan sanksi”.




  1. Masyarakat Adat

Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama dalam kelompok, tinggal di satu tempat karena genealogi atau faktor geologi. Mereka memiliki hukum adat mereka sendiri yang mengatur tentang hak dan kewajiban pada barangbarang material dan immateri. Mereka juga memiliki lembaga sosial, kepemimpinan adat, dan peradilan adat yang diakui oleh kelompok. Perlindungan pada masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18B (2) dan Pasal 28I ayat (3) dalam Konstitusi Indonesia 1945 dan di beberapa tata hukum Indonesia tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena sangat perlu peraturan operasional. Hal ini dikarenakan amandemen UUD 1945 saat itu sarat dengan Kepentingan politik pada saat itu, sehingga kata-kata pembangunan Pasal 18B ayat (2) ambivalen dalam arti. Dalam satu sisi, negara mengakui dan menghargai hak-hak masyarakat adat, namun di sisi lain mereka dituntut dengan persyaratan yang sulit dalam mewujudkan hak-hak mereka.

Menurut Maria Rita Ruwiastuti(2000:177) mengemukakan bahwa: masyarakat adat adalah “kelompok masyarakat yang leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat.”

Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.

Menurut F.D. Hollenmann(2010:46) mengemukakan bahwa: ada 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu :

  1. Magis Religus 

Magis Religus diartikan sebagai pola fikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Corak magis religius ini berarti juga bahwa masyarakat tidak mengenal pemisahan antara dunia lahir dengan dunia ghaib yang keduanya berjalan secara seimbang. Masyarakat mempercayai bahwa setiap perbuatan dalam segala bentuknya akan mendapat imbalan dan hukuman (reward and punishment) dari Tuhan. Corak pemikiran masyarakat sebelum mengenal agama adalah dengan mempercayai kepercayaan kepada benda ghaib yang menghuni suatu benda. Dalam pikiran Scholten, peraturan hukum demikian ini tidak didasarkan pada alam pikiran semata, tetapi juga melibatkan alam rohaniyah. (Scholten, terj., Arief Sidharta, 2002: 121). 

  1. Komunal 

Komunal Masyarakat hukum adat berasumsi bahwa setiap anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat hukum adat secara keseluruhan. Prinsip comunal dalam masyarakat hukum adat menghendaki agar anggota-anggota masyarakat hukum adat mempertahankan prinsip-prinsip kerukunan, kekeluargaan dan gotong royong serta tidak menonjolkan kepentingan pribadi, namun lebih mengutamakan kehidupan bersama. Sosiolog menempatkan kehidupan bersama ini sebagai model gemeinschaft. Ini berbeda dengan model gesselschaft dimana hubungan antar anggota masyarakat bersifat formal, memiliki orientasi ekonomi, memperhitungkan nilai guna (utilitarian), dan lebih didasarkan pada kenyataan sosial.

  1. Kongkrit

Kongkrit Prinsip kongkrit diartikan sebagai prinsip yang serba jelas atau nyata yang menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam. Penting untuk ditegaskan bahwa prinsip konkrit atau nyata ini berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa tanggung jawab hukum lebih banyak dibebankan pada pelaksana kebijakan padahal seharusnya tanggung jawab hukum yang lebih berat berada pada pembuat kebijakan.

  1. Konstan

Konstan Prinsip konstan bermakna kesertamertaan khususnya dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu diiringi dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta merta atau langsung. Contoh, dalam perjanjian jual beli setelah terjadi kesepakatan, maka selalu disertai dengan pembayaran sebagai tanda jadi (panjer). Prinsip konstan tidak hanya terjadi dalam transaksi jual beli namun juga pada hal lain seperti perkawinan dengan istilah pangjadi (Jawa Barat) dan paningset (Jawa Tengah) yang diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita dalam segala bentuknya yang dimaksudkan sebagai keseriusan mempelai pria untuk melagsungkan perkawinan. (Mustari, 2009: 51).


  1. Lembaga Adat

Lembaga adat adalah lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja di bentuk maupun  yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

Kedudukan lembaga adat di masyarakat sangat dibutuhkan untuk memperjelas dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kedudukan, tujuan dan fungsi adat bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Menurut pakar sosiologi Tjondronegoro dalam Koentjaraningrat (1982:216).

Mengemukakan bahwa :

“Lembaga adat diartikan sebagai badan yang lebih nyata dengan bangunan, pola organisasi dan segala peralatan (atribut) yang dilakukan untuk melakukan fungsi, jadi dalam kenyataan lembaga adat yang memang mencakup segi yang di lakukan untuk melakukan fungsinya dalam keyataan lembaga memang mencakup segi yang berakar pada norma dan segi yang berhubungan dengan peralatan serta (berlambang sosial)”

Adat yang ada dalam masyarakat harus dilestarikan. Dalam melestarikannya tentu ada hukum adat yang harus dipatuhi oleh masyarakat.

Soerjono Soekanto (2005:15) hukum adat adalah “ keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup didalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang merupakan akibat hukum.”

Berhubung dengan pengertian tersebut, maka di dalam penggunaannya, terdapat berbagai pendapat yang membedakan peristilahan lembaga sosial tersebut, ada yang menggunakan istilah pranata sosial, institusi sosial, dan ada pula yang menggunakan istilah bangunan sosial. Peranan istilah ini tidak dipersoalkan secara mendasar sepanjang pengertian yang dikandungnya masih menyangkut sistem nilai atau norma yang mengendap dalam suatu lembaga dalam arti wadah perhubungan orang.

Menurut Soekanto (1981:199) bahwa lembaga kemasyarakatan mempunyai fungsi :

  1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

  2. Menjaga keutuhan masyarakat.

  3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan system pengendalian sosial, artinya system pengawasan dari pada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.


Berdasarkan  fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan  termasuk lembaga adat sebagai wadah masyarakat untuk memenuhi keperluan hidup manusia diikat dengan system yang berlaku di masyarakat.

Mencermati pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga adat telah ada sejak nenek moyang masih berbentuk komunitas yang terdiri atas beberapa individu untuk mengatur tatanan kehidupan social secara adat. Lembaga adat kemudian mengalami transformasi, yakni lemaba adat tidak lagi sebagai warisan tetapi sengaja dibentuk oleh pemerintah untuk masyarakat. Meskipun melangami rekonstruksi dalam pelaksanaannya seperti aturan adat yang diformalkan, tetap berpegang pada norma dan aturan adat yang ditetapkan.


  1. Hukum Adat

Secara etimologi, adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Jadi secara etimologi adat dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan berulang-ulang lalu menjadi kebiasaan yang tetap dan dihormati orang, maka kebiasaan itu menjadi adat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adat adalah aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu sistem”.

Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda : “Adat Recht ”, yang pertama kali dikemukakan oleh : Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya : “ De Atjehers ” (orang-orang Aceh).

Pengertian hukum adat menurut Ter Haar (1960:7)  menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yaitu orang-orang yang mempunyai wibawa (macth, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh para pengikut suatu kebudayaan tertentu dalam masyarakat.

Jadi Hukum Adat itu merupakan keseluruhan Adat (yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman) yang mempunyai akibat hukum.

Tujuan hukum adalah Adat adalah untuk memberikan penanaman nilai budi pekerti, yang gunannya melindungi warga dari perbuatan sewenang-wenang dan tindakan tidak terpuji. Oleh karena itu hukum adat dimaksudkan untuk menciptakan peradaban dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menuju suatu kehidupan yang damai aman dan berkeadilan, sehingga bila dimaknai secara seksama hukum adat dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Implementasi hukum adat kaili mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, sehingga berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat dapat dipecahkan berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma adat yang berlaku di Kota Palu.


  1. Bentuk Upaya Pelestarian

Upaya-upaya pelestarian dapat dilakukan dengan mempertahankan nilai-nilai budaya atau adat-istiadat dalam segi kemasyarakatan maupun sekolah seperti adanya ekstra kurikuler dalam bidang kesenian daerah yang harapannya mampu melestarikan adat-istiadat sebagai kebudayaan tradisional Wati, (2014:26)

Pelestarian adalah sebuah upaya yang berdasar, dan dasar ini disebut juga faktor-faktor yang mendukungnya baik itu dari dalam maupun dari luar dari hal yang dilestarikan. Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan pelestarian mengenal strategi atapun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya masing-masing ( Chaedar, 2006: 18).

Pelestarian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI offline,QT Media, 2014) berasal dari kata dasar lestari, yang artinya adalah tetap selama-lamanya tidak berubah. Kemudian, dalam kaidah penggunaan Bahasa Indonesia, pengunaan awalan pe- dan akhiran –an artinya digunakan untuk menggambarkan sebuah proses atau upaya (kata kerja). Jadi berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan pe- dan akhiran –an, maka yang dimaksud pelestarian adalah upaya atau proses untuk membuat sesuatu tetap selama-lamanya tidak berubah. Bisa pula didefinisikan sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya tetap sebagaimana adanya.

Lebih rinci A.W. Widjaja (1986:33) mengartikan pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes, dan selektif (Jacobus, 2006:115).

Mengenai pelestarian budaya lokal, Jacobus Ranjabar (2006:114) mengemukakan bahwa pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.

Kelestarian tidak mungkin berdiri sendiri, oleh karena senantiasa berpasangan dengan perkembangan, dalam hal ini kelangsungan hidup. Kelestarian merupakan aspek stabilisasi kehidupan manusia, sedangkan kelangsungan hidup merupakan percerminan dinamika. (Soekanto, 2003:432).

Sudah menjadi sebuah ketentuan dalam pelestarian budaya akan adanya wujud budaya, dimana artinya bahwa budaya yang dilestarikan memang masih ada dan diketahui, walaupun pada perkembangannya semakin terkisis atau dilupakan. Pelestarian itu hanya bisa dilakukan secara efektif manakala benda yang dilestarikan itu tetap digunakan dan tetap ada dijalankan. Kapan budaya itu tak lagi digunakan maka budaya itu akan hilang. Kapan alat-alat itu tak lagi digunakan oleh masyarakat, alat-alat itu dengan sendirinya akan hilang (Prof. Dr. I Gede Pitana, Bali Post, 2003)

Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah juga untuk melakukan revitalisasi budaya (penguatan). Mengenai revitalisasi budaya Prof. A.Chaedar Alwasilah mengatakan adanya tiga langkah, yaitu : (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, dan (2) pembangkitan kreatifitas kebudayaaan.


  1. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan alur pemikiran guna memecahkan masalah yang akan diteliti. Kerangka pemikiran dalam penelitian yaitu “Dampak Sanksi Givu (Denda) Pada Masyarakat Adat Kaili di Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore”. Untuk mengetahui hal tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai dampak sanksi givu terhadap kehidupan masyarakat yang dihasilkan dari pelanggaran yang menyangkut hukum adat serta upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dan lembaga adat dalam menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat. Diberlakukannya sanksi adat givu memberi reaksi positif maupun negatif serta sebagi kontrol sosial di lingkungan masyarakat, oleh karena itu diperlukan penerapan sanksi adat givu untuk menyelesaikan permasalahan yang menyakut hukum adat secara berkesinambungan. Dengan harapan, memberikan penanaman nilai budi pekerti,yang gunanya melindungi seluruh warga dari perbuatan sewenang-wenang dan tindakan yang tidak terpuji. Oleh karena itu Hukum dan Sanksi Adat dimaksudkan untuk menciptakan peradaban dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menuju suatu kehidupan yang damai aman dan berkeadilan, sehingga bila dimaknai secara seksama hukum adat dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian di Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore.


















Bagan 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran












.......................................................................................................................................................................

BAB III

METODE PENELITIAN


  1. Jenis Penelitian

Penelitan ini termasuk pada kategori jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Menurut Sugiyono (2008:139-140) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah menggambarkan dan menafsirkan keadaan sekarang ini berkenaan dengan kondisi yang ada dan memusatkan dari pada pemecahan masalah-masalah yang aktual.

Penelitian Kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan  perilaku yang dapat diamati Sugiyono (2009:181). Jadi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang digambarkan dengan kata-kata tertulis dan lisan melalui orang-orang serta pengamatan perilaku.


  1. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah individu dan lembaga adat yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling

dengan memilih dan menentukan orang yang dianggap mengetahui hal yang akan diteliti. Peneliti ingin mengetahui dampak sanksi Givu pada masyarakat adat di Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore. Adapun subyek penelitian ini antara lain : 1 orang kepala kelurahan, 1 orang babinkamtibmas dan 5 orang tokoh masyarakat sehingga total informan  berjumlah 7 orang.

  1. Defenisi Oprasional Penelitian

Untuk memberi arah yang jelas dalam memahami isi proposal ini maka perlu dijelaskan batasan istilah yang digunakan sebagai berikut :

  1. Dampak

Dampak adalah sebuah perubahan yang nyata terjadi pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh setiap masyarakat di Kelurahan Talise sebagai suatu keluaran dari kebijakan yang dilakukan. Berdasarkan pengertian tersebut maka dampak merupakan suatu konsekuensi dari dilaksanakannya suatu perilaku sehingga akan membawa perubahan baik positif maupun negatif serta dampak juga dapat berlaku sebagai kontrol sosial di dalam masyarakat di Kelurahan Talise.

  1. Sanksi Adat (Givu Nuada)

Sanksi Adat adalah sesuatu yang akan diterima oleh masyarakat sebagai akibat dari pelanggaran nilai dan norma adat yang berlaku di masyarakat Kaili di Kelurahan Talise. Sanksi adat di berlakukan bagi siapa saja yang melanggar ketetapan dan ketentuan adat yang berlaku, Dengan falsafah: “ Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung” yang artinya tidak mengenal suku dan budaya bagi yang melanggar sanksi akan tetap dikenakan sanksi Givu tersebut.

  1. Masyarakat Adat Talise 

Masyarakat adat di Kelurahan Talise adalah seluruh masyarakat asli yang bersuku kaili baik Tara, Ledo, maupun Rai serta beberapa suku transmigran yang ada dan telah lama bermukim di Kelurahan Talise.

  1. Bentuk Upaya Pelestarian

Merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus, ter arah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes dan selektif. 


  1. Teknik Pengumpulan Data

Memperoleh data yang akurat di lapangan, diperlukan berbagai macam teknik pengumpulan yang relevan dengan tujuan penelitian akan menjadi maksimal. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

  1. Observasi

Obseravasi, yakni dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap hal-hal disertai pencatatan-pencatatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ruang lingkup penelitian dalam hal ini yaitu Dampak Sanksi Givu (Denda) pada Masyarakat Kaili di Kelurahan Talise.


  1. Wawancara

Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang responden. Teknik wawancara, wawancara dilakukan terhadap tokoh-tokoh adat, kepala kelurahan, dan warga yang mengetahui dan mengerti serta dapat membantu dalam memberikan informasi mengenai masalah-masalah yang diteliti.

  1. Dokumentasi

Dokumentasi, yakni melakukan pengambilan data di lapangan beserta gambar terhadap hal-hal yang terkait dengan objek yang akan diteliti.


  1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian. (Sugiyono, 2014:102). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara dan dokumentasi.


  1. Teknik Analisis Data 

Miles dan Huberman (1992:15) teknik analisis data adalah cara-cara yang digunakan untuk mengolah, mengkaji data dan informasi sehubungan dengan masalah dilengkapi dengan alat penjelas (ilustrasi) serta untuk menarik kesimpulan. Analis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu :

  1. Reduksi Data

Reduksi data dilakukan sebagai proses memilih, menyeleksi data, mensederhanakan, dan transformasi data kasar yang terdapat dalam penelitian. Adapun maksud dilakukannya reduksi data yaitu memfokuskan, mengarahkan, dan mengklasifikasikan data yang dibutuhkan yang sesuai dengan kajian penelitian ini.

  1. Penyajian Data

Penyajian data yang dimaksud ialah untuk menghimpun, menyusun seluruh informasi dari informan, sehingga dari penyajian data tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan.

  1. Kesimpulan/Verifikasi data

Verifikasi data dimaksudkan untuk mengevaluasi segala informasi yang telah didapatkan dari data yang telah diperoleh dari informan sehingga akan didapatkan data-data yang valid dan berkualitas serta hasil dari data tersebut dapat dipertanggung jawabkan akan kebenarannya.


~SEMOGA BERMANFAAT~