Rabu, 04 April 2018

Save 1

PROPOSAL PENELITIAN



STRATEGI ANTISIPATIF PERMASALAHAN SOSIAL BERBASIS PENYIMPANGAN MORAL PADA SISWA SMP NEGERI 8 PALU

OLEH :

Dr. H. Kaharudin Nawing, M.Si (Ketua Peneliti)
Dr. H. Muh. Ali Jennah, M.Hum (Anggota Peneliti)
Mohammad Nurhammam (Anggota Peneliti)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2018





HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN


























DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN KETERLIBATAN MAHASISWA ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
DAFTAR ISI iv
ABSTRAK v
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA 7
BAB III METODE PENELITIAN 17
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN-LAMPIRAN 23















HALAMAN KETERLIBATAN MAHASISWA
DALAM PROSES PENELITIAN DOSEN

























ABSTRAK


























BAB I
PENDAHULUAN

 Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan formal yang populer dengan nama “sekolah” merupakan konsep yang bermakna ganda pada satu sisi sekolah dapat dimaknai sebagai bangunan fisik dengan berbagai fasilitas, tempat menyelenggarakan proses pendidikan tertentu, sekolah juga dimaknai sebagai pranata sosial yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari sejumlah generasi muda (siswa). Fungsi utama pranata tersebut adalah menyelenggarakan pendidikan yang memungkinkan berkembangnya sebagai potensi anak, baik dalam bidang intelektual, keterampilan nilai-nilai sosial budaya serta pembetukan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.
Keberadaan sekolah sebagai lembaga pendidikan pada dasarnya hadir dalam rangka memenuhi fungsi-fungsi pendidikan. Fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, kepribadian serta peradaban yang bermartabat. Arah dari fungsi tersebut adalah untuk memanusiakan manusia agar bermartabat sesuai dengan tuntutan perubahan sosial tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai filosofi bangsa.
Menurut kurikulum tahun 2012, pendidikan difokuskan pada fungsi pokokyakni sebagai penegak dan pemelihara nilai-nilai dalam masyarakat. Pendidikan juga berfungsi sebagai pengembangan masyarakat, serta mengupayakan pengembangan potensi manusia.
Berkenaan dengan fungsi tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan dengan berbagai komponennya bukan hanya berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai pada bidang keilmuan, tetapi juga berperan untuk membentuk karakter peserta didik (siswa). Lembaga pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membudayakan kedisiplinan pada pesrta didik agar patuh terhadap aturan-aturan sekolah serta norma-norma dalam kebudayaan sosial.
Idealnya lembaga pendidikan seharusnya steril dari berbagai permasalahan sosial yang bersumber dari masyarakat, namun dalam kenyataannya lembaga pendidikan seringkali diperhadapkan dengan permasalahan sosial yang berbasis karakter bahkan institusi ini diberikan tanggung jawab, baik oleh masyarakat maupun negara untuk membantu mengatasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial terutama yang berkaitan dengan berbagai moral yang terjadi pada institusi tersebut.
Fungsi-fungsi lembaga pendidikan dalam pengembangan pendidikan karakter dalam ? membantu ? menyelesaikan dan mensosialisasikan berbagai nilai yang berbasis karakter, diasumsikan bahwa pada satu sisi lembaga pendidikan tidak hanya sekedar menghadapi benda mati, tetapi menghadapi peserta didik, dari berbagai latar belakang sosial budaya, sosial ekonomi, serta latar kehidupan keluarga dan lingkungan yang relatif beragam. Asumsi lainnya adalah bahwa, lembaga pendidikan, tempat para peserta didik belajar bertahun-tahun, merupakan wahana yang sangat strategis untuk mensosialisasikan berbagai nilai dan norma-norma kehidupan yang bermakna baik bagi dirinya, masyarakat maupun bangsa.
Prosedur sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan formal pada dasarnya merupakan bentuk kelanjutan sosialisasi sendiri yang dilakukan oleh keluarga sebagai wadah sosialisasi primer, namun dalam kenyataannya, lembaga pendidikan tersebut, memikul tanggung jawab yang lebih luas dari sekedar melakukan sosialisasi, tetapi juga terlibat mengatasi berbagai permasalahan sosial yang berbasis karakter tersebut.
Permasalahan sosial yang berbasis karakter dewasa ini semakin fenomenal, dimata anak-anak muda yang masih labil, terlibat didalamnya. Di dalam lingkup persekolahan terdapat sejumlah permasalahan sosial yang berbasis karakter dimana sejumlah siswa mengalami penurunan tatakrama dan etika moral, hingga melakukan berbagai penyimpangan norma-norma sosial dan agama serta berbagai ? yang negatif dan merisaukan masyarakat.
Peserta didik (siswa) dalam lingkup persekolahan ditemukan berbagai karakter yang negatif diawali dengan kurang hormatnya kepada guru, kurang disiplin terhadap waktu, tidak mengindahkan aturan sekolah, terlambat masuk kelas, bolos dan tidak menggunakan seragam sekolah. Karakter negatif tersebut semakin meningkat kearah kriminal disekolah, pencurian, penyalahgunaan obat terlarang hingga pembunuhan yang dilakukan oleh siswa.
Permasalahan sosial yang berbasis karakter tersebut diatas, pada dasarnya dapat ditemukan atau diamati pada prestasi peserta didik (siswa) di berbagai lembaga pendidikan. Salah satu diantara fenomena tersebut, dapat ditelusuri lebih dalam pada SMP NEGERI 8 PALU.
Kompleksitas permasalahan sosial berbasis karakter yang dapat menimbulkan kerisauan hingga kriminalisasi, dikemukakan oleh Muhammad Ali (2006:100) sebagai berikut :
Perkelahian pelajar antar sekolah menegah pertama maupun perkelahian pelajar antara sekolah lain
Kebiasaan, meroko, penyalahgunaan narkotika serta meminum minuman keras yang menimbulkan dampak negatif di lingkungan sekolah dan masyarakat
Menyalahgunakan obat-obat perangsang dan alkohol yang dapat memicu timbulnya kejahatan asusila atau perbuatan kriminal
Reaksi emosional yang berlebihan yang dapat mengarah pada tindak kriminal. (Muhammad Ali 2006:100)
Permasalahan sosial berbasis karakter tersebut pada dasarnya dapat diamati fenomenannya pada sejumlah siswa di berbagai lembaga pendidikan. Salah satunya dapat diteliti pada siswa SMP NEGERI 8 PALU. Lembaga pendidikan tersebut berada diwilayah pinggiran kota palu.
Siswa yang mengikuti proses pendidikan tersebut berasal dari kelas sosial menengah kebawah latar belakang ekonomi, keluarga relatif kecil sebagian dari mereka bekerja sebagai, tukang batu, tukang kayu, tukang ojek, buruh bangunan, buruh tani, petani, ?, sopir, serta karyawan pada perusahaan ? .tingkat pendidikan orang tua siswa relatif rendah ada yang tamat SD,SMP,Sma dan sedikit sekali yang meraih program S1 bahkan kebanyakan dari mereka tidak pernah menempuh pendidikan
Wilayah pemukiman orang tua para siswa, berada pada lingkuang transisi, pada satu sisi sebagian bertempat tinggal di kelurahan tipo, namun sebagian lagi bertempat tinggal di wilayah perbukitan, ada pegunungan yang relatif jauh dari lingkup sekolah. Namun demikian pengaruh perkotaan, telah menebar luas kepada para siswa termasuk orang tua mereka.
Rahmat Nurdiansyah (2017) yang telah melakukan penelitian awal tentang kenakalan remaja pada lembaga ini menyatakan bahwa.
Bentuk-bentuk kenakalan remaja yang dilakukan oleh siswa, relatif bervariasi yang dapat dikategorikan ringan, sedang, dan berat; mulai dari terlambat masuk kelas, tidak menggunakan seragam, merokok dikelas, minum-minuman keras hingga tindak asusila.
Fenomena diatas menunjukan suatu indikasi bahwa permasalahan sosial yang berbasis karakter, diawali dengan kebiasaan-kebiasaan negatif pelanggaran ringan seperti, meremehkan aturan-aturan sekolah, dan waktu belajar ; misalnya datang terlambat, bolos belajar, mennyontek, tidak mengerjakan tugas-tugas dsb.
Kebiasaan-kebiasaan negatif selanjutnya dapat meluas menjadi tindakan negatif yang tidak saja merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan orang lain atau sekurang- kurangnya merisaukan orang lain, seperti orang tua, guru, dan masyarakat sekitar. Seorang siswa dapat disebut melakukan permasalahan sosial berbasis karakter, jika siswa tersebut sudah mulai tidak memperdulikan aturan sekolah tidak mendengarkan nasehat guru, bahkan melakukan ? terhadap guru dan aturan, tidak lagi mempedulikan kepentingan masyarakat hingga melakukan perusakan fasilitas sekolah.
Hasil pernyataan terakhir menunjukan bahwa beberapa siswa pada SMP NEGERI 8 PALU, memandang sekolah tersebut bukan sebagai miliknya, tempat ia belajar. Hal ini hampir pada kecenderungannya, melakukan pengrusakan fasilitas sekolah, seperti melempar kaca-kaca jendela sekolah hingga pecah dan hancur, merusak (menjebol) tembok-tembok bangunan sekolah, hingga pembakaran sekolah yang segera dapat diatasi.
(Abi Syamsuddin 2000:130) Menjelaskan bahwa anak_anak yang berumur 11-15 tahun merupakan masa remaja awal yang berada pada usia sekolah setingkat SMP. Conger dalam Abi Syamsuddin (2000:132) Memberikan penafsiran bahwa ciri remaja pada masa ini merupakan masa yang kritis. Jika pada ? remaja pada masa ini dapat diatasi permasalahannya secara integratif. Maka ia akan menemukan identitasnya kearah masa dewasanya, namun sebaliknya jika gagal ia akan mengalami krisis identitas yang berkepanjangan.
Informasi yang disampaikan oleh kepala sekolah tersebut menunjukan bahwa permasalahan sosial yang berbasis karakter pada lembaga pendidikan pada dasarnya dapat diatasi dengan berbagai upaya. Berkenaan dengan informasi tersebut menunjukan bahwa lembaga pada dasarnya memiliki peranan yang cukup strategis untuk melakukan pembinaan-pembinaan karakter serta upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial sebagai akibat dekadensi dan disonansi moral (karakter) pada masyarakat pada umunya dan khususnya pada lembaga pendidikan.
Deskripsi pemikiran diatas menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan penelitian pada SMP NEGERI 8 PALU. Penelitian ini bermaksud mengungkapkan secara mendalam, berbagai permasalahan soaial bersis karakter, serta strategi antisipatif lembaga pendidikan tersebut mengatasi permasalahan sosial yang berbasis karakter, sabagai mana yang diungkapkan dalam latar pemikiran diatas bahwa,  kasus-kasus moral yang relatif banyak pada siswa tersebut, relatif mengalami penurunan.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut :
Bagaimana latar sosial budaya yang memicu munculnya permasalahan sosial berbasis karakter pada siswa SMP NEGERI 8 PALU.
Bagaimana bentuk pendekatan lembaga pendidikan dalam mengatasi permasalahan sosial berbasis karakter pada siswa SMP NEGERI 8 PALU.

TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas penelitian ini bertujuan untuk :
Mengungkapkan latar sosial budaya yang mendukung munculnya permasalahan sosial berbasis karakter pada siswa SMP NEGERI 8 PALU.
Mengindentifikasi bentuk pendekatan lembaga pendidikan dalam mengatasi permasalahan sosial berbasis karakter pada siswa SMP NEGERI 8 PALU.

MANFAAT HASIL PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian diatas maka hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi :
Informasi akademik yang bermakna bagi steekholder pendidikan, sekaligus sebagai masukan bagi lembaga terkait, tentang berbagai faktor sosial budaya yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang berbasis karakter.
Informasi akademik yang bermakna bagi para steekholder pendidikan sekaligus sebagai masukan para pengambil kebijakan, untuk mempertimbangkan penerapan strategi antisipatif penanggulangan berbagai permaslahan sosial berbasis karakter pada masyarakat.
Memperkaya khazanah keilmuan berkenaan dengan hubungan antara disiplin ilmu sosial dengan ilmu pendidikan dalam menganalisis berbagai masalah sosial dalam konteks pendidikan formal.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Penelitian Relevan
Studi sebelumnya yang berkaitan dengan upaya untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma pada siswa, serta berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan lingkungan pendidikan formal, telah banyak dilakukan oleh para peneliti.
Yuli Astuti dkk (2003) yang meneliti tentang integrasi mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah dalam menanamkan kepatuhan, kedisiplinan, kejujuran dan tanggung jawab siswa, menunjukkan bahwa sosialisasi tentang atau kedisiplinan, siswa relatif belum memadai, karena itu disarankan agar lembaga pendidik dapat membangun komunikasi dengan orang tua siswa, demikian juga komunikasi antara guru dengan siswa. Penelitian yang terkait dengan permasalahan perilaku siswa, dikemukakan Eny Purwandi (2011). Dalam studinya yang berjudul “ Keluarga, Kontrol sosial dan Strain” : Model Kontinutas Deliguency Remaja, berkesimpulan bahwa keluarga mempunyai pengaruh yang paling tinggi dalam membangun dan mengatasi masalah delinguency, dibandingkan dengan teman sebaya dan media. Iklim keluarga yang baik akan mampu mengurangi delinguency pada arah negatif.
Study lainnya yang berkaitan perilaku (Bullying) diteliti oleh Muhammad (2009) dan Nissa Adilla (2009). Muhammad dalam penelitiannya mengangkat aspek perlindungan anak dalam tindak kekerasan (Bullying) terhadap siswa korban kekerasan disekolah bahwa tindakan kekerasan (Bullying) di sekolah berbentuk bullying fisik, bullying verkal dan bullying mental atau psikologis. Dampak tindak kekerasan (bullying) tersebut menyebabkan atau menimbulkan rasa sakit perih, suasana kelak menjadi gaduh, tidak konsentrasi dan anarkis belajar, malu, minder, depresi hingga ada siswa yang tidak betah dan tidak ke sekolah .
Tindak kekerasan (bullying) sebagai perilaku antisosial, nampaknya semakin fenomenal di kalangan siswa. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa bullying pada dasarnya dapat diakui melalui kontrol sosial di sekolah. Kontrol sosial mempunyai peranan penting mengendalikan perilaku delinkuensi atau perilaku menyimpang anak Nissa Adilla (2009). Hasil penelitian Adilla, tentang pengaruh kontrol sosial terhadap perilaku bullying, menunjukkan bahwa iklim sekolah turut mendukung siklus bullying melalui kontrol sosial.
Studi-studi diatas mengilhami penelitian ini, untuk menganalisis bentuk-bentuk penyimpangan sosial serta strategi untuk mengatasinya. Penelitian diatas membentuk kontrekuesi bahwa dalam pembinaan karakter, khususnya dalam proses pendisiplinan siswa perlu dibangun komunikasi yang intensif antara sekolah (guru) dengan siswa, guru dengan orang tua siswa.
Rendahnya kedisiplinan siswa dapat menjadi pemicu penyimpangan sosial, karena tujuan pendisiplinan adalah untuk menegakkkan aturan atau norma-norma ketidaktaan terhadap nilai-nilai norma. Aturan tata tertib disekolah, dapat menyebabkan terjadi penyimpangan sosial berupa tindak kekerasan.
Perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini, terletak pada substansi kajiannya. Penelitian diatas lebih terfokus pada permasalahan yang spesifik, misalnya tehadap kedisiplinan dan bullying. Sementara penelitian ini mengkaji tentang berbagai permasalahan sosial bebasis penyimpangan moral, serta strategi yang diterapkan disekolah dalam mengatasinya.
Asumsi yang melatari penelitian ini didasarkan pada hasil observasi awal, bahwa berbagai bentuk penyimpangan sosial yang dilakukan siswa mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
Konsep Masalah Sosial
Masalah sosial merupakn masalah yang timbul sebagai roses dan akibat interaksi sosial. Suatu perilaku disebut sebagai masalah sosial, jika sekelompok orang dari warga masyarakat menilai bahwa perilaku tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dan norma sosial. dengan demikian untuk menilai karakter dan perilaku manusia sebagai masalah sosial terletak pada nilai dan norma yang beraku pada masyarakat atau masalah sosial.
Weimberg (Soekanto, 2003) menyatakan bahwa masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai yang signifikan dalam masyarakat, dan masyarakat sepakat dan membutuhkan tindakan untuk mengubah situasi tersebut.
Lesli (Soekanto, 2003) bahwa permasalahan sosial sebagai suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap sebagian besar besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai dan karena itu perlu untuk diatasi dan atau diperbaiki.
Permasalahan sosial dapat dikaji perspektif, antara lain perspektif patologi sosial dan perspektif peilaku menyimpang, kedua perspektif tersebut berkaitan oleh karena keduanya menggunakan nilai dan norma sosial sebagai alat analisis munculnya permaslahan sosial.
Perspektif patologi sosial berasumsi bahwa masalah sosial timbul karena individu gagal daam proses soialisasi, sehingga individu tersebut dinilaimemiliki cacat sosial dalam bersikap dan berperilaku. Perilaku mereka dinilai tidak mencerminkan atau tidak berpedoman pada niai sosial dan nilai kebudayaan yang berlaku dalm masyarakat.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka permasalahan sosial membutuhkan perubahan-perubahan perspektif dan kuratif. Baik melalui proses pendidikan, maupun dalam bentuk isolasi ataupun sanksi-sanksi hukum atau dipenjarakan (Soekanto,1995).
Smith (dalam ekosudarto,2015) menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab patologi sosial, karena dilatar belakangi oleh pengaruh nilai-nilai yang salah pada lingkungannya. Mereka pada akhirnya sangat sulit menerima pengajaran atau tegasnya menolak pelajaran. Untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut diupayakan melalui melalui pendidikan moral (karakter).
Selanjutnya perilaku perspektif menyimpang yang juga disebut sebagai penyimpangan sosial. Berasumsi bahwa masalah sosial terjadi karena penyimpangan perilaku terhadap nilai-nilai dan norma sosial, penyimpangan tersebut dianggap sebagai sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial (Theresia sedot,2015).
Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatuhan baik dari sudut pandang kemanusiaan maupun sudut pandang agama. Perilaku menyimpang dalam kamus besar bahasa indonesia (2016) diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat, sementara dalam kamus sosiologi perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan aturan/norma yang berlaku atau perilaku yang sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yan tercelah dan diluar batas toleransi ( Haryanto, dkk, 2012).
Defenisi yang relevan dengan pengertian diatas dikemukakan oleh Robert M.Z Lawang bahwa :
Penyimpangan sosial adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang itu.
Bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan oleh individu dapat dibedakan menjadi lima yakni pembandel, pembangkang, pelanggar, perusuh atau penjahat dan munafik (https://10.M.Wikipeidia.org/wiki/perilaku-menyimpang,oktober2017). 1) pembandel adalah penyimpangan sosial sosial karena tidak bersedia mengubah pendiriannya yang yang kurang baik, melalui nasehat-nasehat yang baik, 2) pembangkang adalah bentuk penyimpangan sosial, karena tidak taat terhadap peringatan yang disampaikan, 3) pelanggar merupakan bentuk penyimpangan sosial yang melanggar norma sosial dalam masyarakat, 4) perusuh atau penjahat merupakan bentuk penyimpangan sosial yang menimbulkan kerugian pada orang lain, dan 5) munafik, yaitu bentuk penyimpangan sosial karena tidak menepati janji, suka berbohong dan berkhianat.
Wilhes (?) mengemukakan bahwa penyimpangan sosial dapat disebabkan oleh dua faktor yakni faktor subyektif dan faktor obyektif. Penyimpangan karena faktor subyektif karena bawaan sejak lahir sementara penyimpangan secara obyektif terjadi karena beberapa faktor : 1) ketidaksanggupan seseorang menyerap norma sosial, ia tidak bisa membedakan yang pantas dan tidak pantas. Kondisi ini terjadi karena seseorang tidak menerima sosialisasi nilai dan norma secara sempurna, 2) proses belajar yang menyimpang sebagai akibat dari seringnya mendengar atau melihat tayangan tentang perilaku menyimpang, 3) ketegangan yang terjadi akibat tidak adanya peluang orang tersebut, memenuhi kebutuhannya betapapun telah dilaksanakan sedemikian rupa. Akibatnya ia melakukan perilaku menyimpang, 4) interaksi antara seseorang dengan orang lain atau kelompok yang pada dasarnya pola-pola perilaku mereka telah menyimpang dan 5) sebagai akibat dari peoses sosialisasi yang diterima baik melalui keluarga, lingkungan, maupun berbagai media.
Perilaku menyimpang atau penyimpangan sosial dapat dikategorikan dalam 3 bentuk yakni tindakan non conform tindakan anti sosial dan tindakan kriminal. Tindakan nonconform merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai norma yang berlaku. Sementara tindakan anti sosial adalah tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum sementara. Tindakan kriminal adalah tindakan yang merugikan orang lain, mengancam jiwa dan keselamatan orang lain, atau secara nyata melakukan pelanggaran hukum.

Fungsi Sosial Sekolah
Lembaga pendidikan yang dikenal sebagai “ sekolah “ merupakan sebuah konsep yang mempunyai nilai ganda. Sekolah pada satu sisi dimaknai sebagai sejumlah, bangunan fisik sebagai wadah prose pendidikan tertentu. Pada sisi lain sekolah sebagai lembaga pendidikan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan dan belajar mengajar dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku individu kearah yang lebih baik.
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan rencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
 Pemikiran diatas menunjukan bahwa sekolah merupakan pranata (lembaga) sosial yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus berkenaan dengan tujuan pendidikan. Sebagai suatu lembaga, sekolah mempunyai struktur tertentu yang terdiri dari sejumlah orang dan berfungsi untuk merancang dan melaksanakan fungsi pembimbingan dan pengembangan sumber daya insani.
Sekolah dalam perspektif sosiologis pada dasarnya memiliki fungsi-fungsi tertentu, agar semua tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dapat terwujud. Fungsi sosial tersebut meliputi fungsi sosialisasi dan fungsi pengendalian (kontrol sosial).
Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu proses yang dialami oleh seseorang dalam mempelajari lingkungan hidupnya, sehingga perilaku sesuai dengan nilai-nilai, norma dan kebiasaan kelompok dimana individu tersebut berdomisili proses sosialisasi dapat berlangsung pada keluarga, lingkungan masyarakat, dan lembaga pendidikan.
Young (dalam Gunawan 2003) mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan hubungan interaktif yang dengannya seseorang mempelajari keperluan-keperluan sosial dan kultural. Sementara koentjaraningrat (2015) mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan sesuatu proses pembelajaran yang terjadi pada seseorang. Pembelajaran tersebut merupakan proses interaksi dengan individu lainnya yang memainkan peran sosial dalam masyarakat. Adapun Carlotte Buhler menyatakan bahwa sosialisasi merupakan proses membantu belajar seseorang dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat agar sesuai dengan kelompoknya (http://www.informasi-pendidikan.com/2015/12 pengertian-tujuan dan fungsi sosialisasi).
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses sosialisasi, individu belajar tentang kebudayaan, ketrampilan sosial, individu juga mempelajari berbagai kebiasaan, sikap, ide dan pola perilaku dimana ia hidup. Proses belajar tersebut diharapkan individu dapat beradaptasi sosial yang biasa disebut Adjusment, yakni bentuk penyeseuaian diri dengan lingkungan sosial, yakni syarat dengan nilai-nilai, norma-norma, dan harapan-harapan masyarakat.
Sosialisasi dilihat dari sudut pandang individu dan masyarakat, maka sosialisasi memiliki 2 fungsi utama yakni 1) sosialisasi memiliki fungsi sebagai pengenal identitas budaya dan nilai-nilai agar seseorang dapat mengenal, mempelajari mengakui serta menyesuaikan diri dengan norma, nilai, budaya serta peraturan sosial yang ada pada suatu kelompok masyarakat, dan 2) sosialisasi berfungsi sebagai alat untuk melestarikan norma, nilai dan tradisi (budaya) suatu kelompok masyarakat (http://www.informasi-pendidikan.com/2015/12 pengertian-tujuan dan fungsi sosialisasi).
Berkenaan dengan fungsi diatas, sosialisasi selanjutnya memiliki tujuan sebagai berikut :
Mengajarkan seseorang tentang ketrampilan yang berguna dan bertahan hidup atau menyesuaikan diri dengan kelompok masyarakat
Mengembangkan kemampuan berkomunikasi agar seseorang dapat berkomunikasi dengan baik dan efektif
Mengajarkan cara menginstropeksi diri yang tepat agar dapat mengembangkan fungsi sosialnya dengan baik
Menanamkan nilai dan kepercayaan pada diri seseorang dalam rangka memenuhi fungsi sosialnya
Lembaga pendidikan dipandang sebagai media sosialisasi yang dinilai sangat urgen untuk melanjutkan dan membentuk proses sosialisasi dari keluarga dan lingkungan sosial sekolah dalam prespektif sosial kultural, merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap proses sosialisasi sekaligus berfungsi untuk melestarikan kebudayaan. Sekolah sebagai bagian dari sistem sosial mempunyai pola relasi sosial dan budaya tersendiri yang relatif unuk.
Budaya sekolah mengandung sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi kebiasaan keseharian, dan simbol yang dipraktekkan dalam relasi antar warga sekolah (kepala sekolah, guru, staf administrasi, dan siswa). Zamroni (2011) menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan mitos yang dibentuk dalam perjalanan panjang di sekolah, dapat memecahkan berbagai persoalan yang muncul disekolah. Sekolah dapat menjadi wadah utama transmisi pengetahuan, keterampilan, nilai, serta antar generasi.
Kontrol Sosial
Kontrol sosial (social cotrol) merupakan pengawasan dengan maksud untuk mendidik, mengarahkan, mengajak bahkan memaksa individu sebagai warga masyarakat agar dapat berperilaku sesuai dengan harapan dan norma-norma sosial.
Mendidik sebagai kontrol sosial dimaksudkan agar seseorang dapat menunjukkan sikap dan perilaku, yang sesuai dengan norma-norma. Sedangkan mengarahkan adalah mengajak dimaksudkan agar seseorang tidak bertindak berdasarkan keinginannya saja tetapi selalu bersandar pada norma sosial. Adapun kontrol sosial yang bersifat memaksa dimaksudkan untuk memberikan penegasan disertai dengan resiko yang diterimanya jika individu melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai dan norma sosial.
Berkenaan dengan pengertian diatas, maka pengendalian sosial dapat dibagi ke dalam preventif, dan pengendalian repretif. Pengendalian preventif merupakan upaya pengendalian sebelum suatu adalah penyimpangan sosial dilakukan. Pengendalian preventif lazimnya dilaksanakan melalui sosialisasi agar warga masyarakat dapat berprilaku sesuai dengan nilai dan norma tanpa proses pemaksaan.
Sedangkan pengendalian repretif, dilakukan setelah pelanggaran atau penyimpangan sosial dilakukan dalam bentuk sanksi-sanksi tertentu, dengan maksud untuk memulihkan kondisi seperti semula akibat adanya pelanggarab norma-norma sosial. Pengendalian repratif ini mengandung tekanan yang bersifat normatif agar warga masyarakat dapat menyadari dan menyesuaikan kembali dengan nilai-nilai dan norma sosial (Kamanto, 2012)
Koentjaraningrat () mengemukakan bahwa kontol (pengendalian) sosial sekurang-kurangnya memiliki 5 fungsi yakni, mempertebal keyakinan warga masyarakat tentang kebaikan norma, memberikan imbalan kepada warga masyarakat yang menaati norma, mengembangkan rasa malu dan rasa takut, serta menciptakan sistem hukum.
Pandangan yang relevan mengemukakan bahwa pengendalian sosial bertujuan untuk :
Agar masyarakat mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku. Pengendalian sosial dalam konteks ini menitik beratkan pada individu yang melakukan penyimpangan terhadap nilai dan norma, hingga memaksa yang bersangkutan patuh terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Agar tercipta keserasian dan ketentraman dalam masyarakat. Jika pengendalian dilaksanakan secara konsisten, maka kecendrungan seseorang merasa takut melakukan pelanggaran atau kejahatan.
Agar pelaku penyimpangan kembali memenuhi norma yang berlaku atau dapat menerapkan kembali nilai dan norma sosial.
Wrahatnala Bordet (2009) menyatakan bahwa pengendalian sosial memiliki tujuan eksploratif, regulatif dan konstruktif. Tujuan eksploratif berkaitan dengan motivasi yang diberikan oleh seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuan regulatif dilandaskan pada kebiasaan atau adat istiadat, sedangkan tujuan konstruktif diarahkan pada perubahan sosial yang bermanfaat.
Pengendalian sosial pada dasarnya bisa bersifat informal-non formal dan formal. Pengendalian informal dan non formal lazim dilakukan oleh keluaraga atau masyarakat setempat, sementara pengendalian formal, dapat dilakukan oleh berbagai lembaga formal. Salah satu diantaranya adalah lembaga pendidikan yang hampir setiap hari menghadapi anak-anak bermasalah.
Pengendalian sosial dalam pendidikan formal sangat urgen dengan maksud untuk mengendalikan secara dini, berbagai bentuk perilaku menyimpang yang paling sering dilakukan oleh siswa baik dalam bentuk yang ringan hingga yang berat baik dalam proses pembelajaran maupun dilur proses pembelajaran.
Penyimpangan sosial dalam lingkup dan proses pembelajaran yang sering ditemukan pada siswa antara lain, bolos belajar, sering datang terlambat, sering minta izin meninggalkan kelas, serta lalai mengerjakan tugas-tugas dari guru. Penyimpangan sosial yang lebih berat yang dilakukan oleh para siswa meliputi, minum-minuman keras, penyalahgunaan narkotika, perkelahian antar pelajar, perilaku seks diluar nikah, berjudi, dan tindakan kejahatan (kriminal) lainnya.
Bentuk penyimpangan sosial yang dilakukan oleh siswa 126 ada yang bersifat primer dan sekunder. Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang bersifat insidental, sementara dan relatif kurang berulang. Penyimpangan tersebut dilakukan hanya pada kondisi-kondisi tertentu. Sementara penyimpangan sekunder adalah bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang terus menerus, yang tak hanya mempengaruhi (berefek) pada yang bersangkutan tetapi juga bisa berefek kepada orang lain. Penyimpangan 126 bisa terjadi oleh individu tetapi bisa dilakukan oleh kelompok siswa.
Strategi Penanaman Moral
Strategi pembinaan sosial secara umum dan khusus dalam pembinaan karakter siswa dimaksudkan sebagai pendekatan yang diterapkan oleh lembaga pendidikan, untuk menumbuhkan dan membiasakan para siswa bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sekolah dan masyarakat. Pendekatan tersebut juga dimaksudkan untuk mengatasi berbagai bentuk perilaku menyimpang para siswa.
Upaya untuk mengatasi perilaku menyimpang siswa dalam perspektif komunikasi sosial dapat diwujudkan dengan : 1) mengembangkan hubungan yang erat dengan setiap siswa agar dapat tercipta komunikasi timbal balik yang seimbang, 2) menanamkan nilai-nilai disiplin, budi pekerti moral dan spiritual kepada siswa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, 3) selalu mengembangkan sikap keterbukaan kepada siswa, 4) mendukung keterbatasan siswa untuk berkreasi positif sesuai dengan potensinya, 5) bersedia mendengarkan permasalahan dan keluhan  siswa, serta upaya untuk membantu mengatasinya baik di sekolah maupun diluar sekolah.
Penanaman nilai moral dalam upaya mengatasi perilaku menyimpang dalam perspektif kelembagaan, khususnya lembaga pendidikan dapat dilakukan dengan upaya-upaya : 1) penanaman nilai dan norma yang kuat, pelaksanaan peraturan penanaman niliai dan moral yang kuat yang berkonsisten serta penyuluhan, 2) (Rudi Prasetyo perilaku menyimpang)
Penanaman nilai dan norma yang kuat bertujuan untuk pembentukan kepercayaan diri, pengendalian diri serta pembiasaan yang positif sesuai dengan harapan masyarakat sedangkan pelaksanaan peraturan yang konsisten pada hakikatnya berfunsi sebagai usaha untuk mencegah perilaku penyimpangan sekaligus berfungsi sebagai sarana tindakan untuk menindak lanjutu perilaku penyimpangan dengan sanksi-sanksi yang tegas. Adapun penyuluhan berperan sebagai upaya penanggulangan perilaku dan penyediaan kembali arti penting merealisasikan norma-norma dalam kehidupan bersama.
Pandangan serupa dikemukakan pada beberapa strategi yang efektif dalam pembentukan nilai dan norma moral pada anak meliputi keteladanan, pembiasaan diri dan peraturan tata tertib. (http:///www.matrapendidikan,strategi penerapan-pendidikan-moral.com/2014/06)
Pendekatan keteladanan dimaksudkan, sebagai upaya untuk menghindari doktrin moral, dengan cara menunjukkan bukti dan contoh yang nyata, sedangkan pembinaan, harus diwujudkan secara konsisten dalam kehidupn siswa. Penyuluhan siswa dan contoh teladan yang diberikan oleh guru atau orang tua, tanpa pembiasaan, maka aplikasi nilai dan norma dalam kehidupan tidak dapat diwujudkan secara maksimal. Selanjutnya para ahli relatif sependapat bahwa salah satu strategi yang paling efektif menghadapi siswa yang masih sangat labil kehidupannya perlu dikendalikan dan alat pengendalian yang efektif pada setiap lembaga pendidikan adalah persiapan peraturan dan tata tertib sekolah, dengan suatu asumsi bahwa pelanggaran terhadap peraturan dan tata tertib tersebut harus dilakukan dengan pendekatan persuasif yang bisa menimbulkan efek penyadaran diri.
Pendekatan yang masih relevan dikemukakan oleh Dwi Siswoyo, bahwa terdapat 4 pendekatan yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai moral pada anak. Pendektan tersebut meliputi indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan, serta pembiasaan dalam perilaku (Dwi Siswoyo, 2005)

Kerangka Pemikiran
Permasalahan sosial pada lembaga pendidikan relatif sangat bervariasi. Berkenaan dengan hal tersebut peneliti ini berfocus untuk melakukan studi tentang permasalahan sosial yang berbasis penyimpangan sosial, dengan menggunakan perspektif perilaku menyimpang (Deviant Behavior).
Perilaku menyimpang merupakan perbuatan atau tingkah laku seseorang yang dinilai bertentangan dengan nilaii-nilai, norma-norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku menyimpang dalam perspektif sosiologis dipandang sebagai perilaku tercelah diluar batas toleransi oleh sebagian besar warga masyarakat.
Penyimpangan sosial pada seseorang, khususnya siswa bisa berbentuk, pelanggaran, bandel, membangkang, melakukan kerusuhan. Faktor penyebabnya relatif bervariasi, antara lain : ketidaksanggupan seseorang menyerap nilai-nilai norma sosial, karena seringnya seseorang mendengar atau melihat tayangan-tayangan yang menunjukkan perilaku menyimpang, ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, interaksi sosial yang pada pokoknya mengandung perilaku menyimpang dan sebagai akibat proses sosialidasi yang kurang kondusif.
Perilaku menyimpang dilihat dari aspek norma-norma sosial bervariasi pada tingkah yang beragam, mulai dari Tindakan Non-Comform,  tindakan anti sosial dan tindak kriminal. Tindakan Non-Comform, adalah tindakan yang melawan kebiasaan atau kepentingan umum. Adapun tindakan kriminal adalah tindakan yang merugikan dan mengancam keselamatan orang lain.
Perilaku menyimpang pada dasarnya dapat diatasi atas kerjasama berbagai lembaga : keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah. Lembaga pendidikan dalam perspektif ini dapat melakukan tindakan antisipatif tentang perilaku menyimpang melalui proses sosialisasi dan kontrol sosial (pengendalian sosial) pada lingkup persekolahan.
Lembaga pendidikan dimulai sangat strategis untuk membentuk dan melanjutkan proses sosialisasi yang berlangsung dalam keluarga dan lingkungan masyarakat. Lembaga pendidikan dipandang sangat strategis dalam mencegah dan mengatasi perilaku menyimpang, karena lembaga pendidikan memiliki budaya sekolah yang bersifat otonomi.
Budaya sekolah, mengandung sejumlah nilai-nilai dan norma-norma yang melandasi perilaku, tradisi dan kebiasaan keseharian siswa. Nilai-nilai kebiasaan, norma-norma dan mitos-mitos yang dibentuk dalam menata perjalanan panjang disekolah di asumsikan dapat memecahkan berbagai permasalahan sosial, menjadi utama transmisi pengetahuan, keterampilan, nilai serta norma antar generasi.
Sejalan dengan fungsi sosialisasi di sekolah, lembaga pendidikan ini juga berperan penting sebagai pengendali sosial berbagai perilaku menyimpang, atau berpotensi menjadi perilaku menyimpang jika terjadi proses pembiaran. Berkenaan dengan fungsi kontrol (pengendali) tersebut, lembaga pendidikan memiliki kapasitas dan otoritas, untuk mendidik, mengarahkan mengajak bahkan memaksa para siswa untuk berprilaku sesuai dengan nilai dan norma yang dirumuskan oleh sekolah. Tugas sekolah dalam konteks ini bisa bersifat beja, bersifat preventif, kuratif, dan defresif.
Proses sosialisasi dan kontrol sosial lembaga pendidikan diperlukan agar, para siswa dapat mematuhi moral dan norma sosial, dan dapat menciptakan tertib sosial di sekolah dan di masyarakat. Jika nilai-nilainorma yang berlaku di sekolah dapat dilaksanakan secara konsisten berlaku di sekolah dapat dilaksanakan secara konsistan maka ada kecendrungan siswa merasa takut melanggar dan mengurangi perilaku menyimpang.
Proses sosialisasi dan pengendalian sosial dalam upaya mengatasi perilaku menyimpang dapat dilakukan dengan strategi tertentu (pendekatan) berdasarkan berbagai perspektif yakni perspektif komunikasi sosial, perpektif penanaman nilai moral serta perspektif kelembagaan.
Landasan teoritik yang dikembangkan dalam perpektif diatas, dapat dirangkum menjadi acuan dan alat analisis untuk mendeskripsikan permasalahan (focus penelitian) ini. Strategi antisipatif yang digunakan dalam penelitian adalah bentuk-bentuk doktrin moral, bentuk keteladanan, pembiasaan, peraturan tata tertib serta bentuk komunikasi sosial yang dibangun oleh lembaga pendidikan dengan orang tua murid. Kerangka pemikiran diatas dapat dijabarkan dalam bagan sebagai berikut.

BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penerapan jenis penelitian kualitatif ini dimaksudkan untuk menjelaskan / memahami fenomena sosial yang diteliti secara mendalam. Pendekatan penelitian ini adalah studi kasus. Pendekatan ini digunakan dengan maksud untuk menyelidiki secara cermat peristiwa, aktivitas, proses berkenaan dengan berbagai bentuk perilaku menyimpang, serta proses dalam mengatasi permasalahan sosial tersebut, berkenaan dengan kehidupan komunitas pada lembaga pendidikan yakni pada siswa SMP Negeri 8 Palu.
Jenis studi kasus yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus Jamak ( Collective or Multiple Case Study ) (Creswell 2007). Menurut Creswell, studi kasus Jamak penelitian adalah penelitian studi kasus adalah penelitian yang menggunakan banyak isu / kasus, namun isu-isu tersebut difocuskan pada fokus-fokus tertentu yakni permasalahan sosial berbasis penyimpangan sosial pada SMP Negeri 8 Palu.

Focus dan Waktu Penelitian
Penelitian ini difocuskan pada SMP Negeri 8 Palu, Focus dalam konteks penelitian ini dimaksudkan untuk memahami situasi sosial yang terdiri dari 3 elemen yakni Place, Actors,& Activity (Sugiono,2009) yang bersinergi dalam penelitian ini. Adapun waktu penelitian dapat dilihat (terlampir).

Unit Analisis / Subyek Penelitian
Unit analisis dalam penelitian ini adalah lembaga pendidikan, yang melibatkan kepala sekolah, guru, dan para siswa. Satuan-satuan tersebut diatas diperhitungkan sebagai subyek penelitian (sample) yang dapat memberikan tanggapan dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Serta masukan secara lengkap maupun tidak lengkap kepada peneliti. Adapun yang menjadi subyek penelitian ini adalah kepala sekolah, guru, serta siswa.
Penentuan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling yakni penentuan sampel yang ditetapkan oleh peneliti berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu. Adapun aktor yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, guru bimbingan konseling sebanyak 2 orang serta guru PPKn sebanyak 2 orang, serta penjaga sekolah 1 orang. Penetapan 7 informan tersebut, sebagai sampel, karena dianggap memahami berbagai informasi berkaitan dengan fokus penelitian ini. Ketujuh informan tersebut diposisikan sebagai informan utama. Selanjutnya untuk memahami atau menjelaskan, berbagai bentuk dan latar belakang terjadinya penyimpangan sosial pada siswa, diperlukan informan pendukung dari para siswa yang pernah terlibat dalam bentuk penyimpangan sosial yang bersifat sekunder. Jumlah informan tersebut sebanyak tujuh orang siswa yang ditetapkan oleh pihak lembaga pendidikan.

Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data-data rimer yang diperoleh dari penelitian ini bersumber dari hasil wawancara peneliti dengan para informan, dengan hasil obsesvasi yang dilakukan oleh peneliti selama proses penelitian. Sedangkan data-data sekunder, diperoleh dari atau media perantara, seperti dokumentasi foto-foto, catatan-catatan, yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, serta hasil penelitian yang berkaitan focus penelitian diatas.

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Untuk memperoleh informasi yang mendalam dan detail peneliti menggunakan kombinasi antara teknik wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.
Selanjutnya, dalam proses observasi peneliti terlebih dahulu menetapkan catatan perilaku menyimpang yang akan diobservasi. Peran peneliti dalam proses observasi bersifat non partisipatif, dimana keterlibatan peneliti hanya terbatas untuk melihat dan menyaksikan fenomena alami yang terjadi da n menyajikannya sebagai catatan lapangan yang dapat mendukung hasil wawancara. Adapun dokumen yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah catatan-catatan kasus siswa, catatan-catatan rapat yang berkaitan dengan kasus siswa, foto-foto, dan dokumen dari yang relevan.



Teknik Analisis Data
Hasil penelitian yang diperoleh dari proses pengumpulan data, dianalisis dengan menggunakan model analisis data model Miles dan Huberman, dengan tahapan reduksi data, verifikasi data, validasi data, dan penyajian data (Miles dan Huberman) dalam (Sugiono 2013).
Sebagai langkah awal, data dan informasi yang relatif banyak diperoleh dari lapangan direduksi dalam bentuk mengategorisasikan, memilih data dan informasi kemudian memilih hal-hal yang pokok (penting) berdasarkan pokok permasalahan selanjutnya membuat rangkuman. Dalam proses reduksi ini, peneliti berupaya untuk menyederhanakan, mengabstasikan serta mentranformasikan data-data kasar kedalam catatan tertulid dengan uraian singkat dan selektif.
Setelah proses reduksi data dan informasi, peneliti selanjutnya melakukan penyajian data, menyusun sejumlah informasi dan data dalam teks naratif, disertai dengan tabel-tabel atau bagan sesuai dengan kebutuhan penulisan.
Proses selanjutnya adalah verifikasi. Pada tahapan ini peneliti membuat kesimpulan sementara, sambil melakukan pengecekan kembali secara intersubjektivitas, dengan pihak informan. Jika data-data dari informan telah diuji kecocokan dan kebenarannya, maka proses verifikasi (kesimpulan) tersebut dinyatakan kredibel atau valid.